Skripsi
RESPON
TANAMAN BAYAM (Amaranthus sp)
YANG
DITANAM SECARA HIDROPONIK TERHADAP
SALINITAS
OLEH
ERWIN DWIANTO
0802406016
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di
Indonesia terdapat 39,42 juta hektar rawa. Sebagian besar dari rawa tersebut
merupakan rawa pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(Direktorat Bina Tehnik Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Apabila suatu saat rawa yang dipengaruhi intrusi atau
pasang surut air laut tersebut digunakan untuk lahan pertanian, maka masalah
salinitas harus diatasi. Salah satu usaha menanggulangi masalah lahan salin
adalah, dengan menanam tanaman yang toleran pada kondisi salin.
Mekanisme
toleransi tanaman terhadap salinitas yang paling nyata adalah adaptasi
morfologi. Pada tanaman yang toleransi terhadap salin, NaCl ditimbun dalam
vakuola sel daun. Di dalam sitoplasma dan organela konsentrasi garam tetap
rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas enzim dan metabolisme (Epstein, 2001).
Tanaman yang toleran terhadap kondisi salin juga mampu mencapai keseimbangan
termodinamik tanpa terjadi kerusakan jaringan berarti, karena tanaman dapat
menyesuaikan tekanan osmotik selnya untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Menurut Levitt (1989), pemberian larutan
salinitas ringan (konsentrasi rendah) pada tahap awal pertumbuhan dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap salinitas berat.
Tanaman
yang kurang atau tidak toleran terhadap salinitas mengalami perubahan ultra
sel, yaitu pembengkakan mitokondria dan badan golgi, peningkatan jumlah
reticulum endoplasmic, dan kerusakan kloroplast. Disamping itu tanaman akan
mengalami perubahan aktivitas metabolisme, meliputi penurunan laju fotosintesis,
peningkatan laju respirasi, perubahan susunan asam amino, serta penurunan kadar
gula dan pati didalam jaringan tanaman. Peningkatan konsentrasi garam terlarut
dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik larutan tanah, akibatnya jumlah
air yang masuk ke dalam akar tanaman akan berkurang atau jumlah air yang
tersedia menipis.
Salah
satu tanaman yang dapat dipoduksi dengan cepat adalah tanaman bayam yang
dibudidayakan secara hidroponik, karena tanaman bayam termasuk jenis yang
memiliki toleransi baik terhadap lingkungan berumur pendek, dan mempunyai
perakaran yang relatif dangkal. Selain itu tanaman ini mengandung banyak
nutrisi yang diperlukan oleh masyarakat (Soediyanto dan Warsito, 1991).
Pada sistem hidroponik, kebutuhan nutrisi diberikan bersamaan dengan
irigasi atau dikenal dengan istilah fertigasi. Pada fertigasi penggunaan pupuk dapat diatur
dalam jumlah dan konsentrasi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman selama musim
pertumbuhan tanaman untuk memperoleh hasil yang optimal dengan kualitas baik
(Hermanto, 2003). Pengaturan fertigasi yang ditekankan pada cara pemberian
larutan hara perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan
pupuk pada budidaya sayuran secara
hidroponik. Salah satu sistem budidaya
secara hidroponik tanaman (sayuran) dengan cara menanam tanaman pada lubang
styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung
atau kolam, sehingga akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi (Hartus,
T. 2007).
Rumusan Masalah
Identifikasi
masalah yang dapat dikemukakan dari uraian pada latar belakang adalah : Bagaimanakah
respon tanaman bayam (Amaranthus
sp) yang ditanam secara
hidroponik terhadap
salinitas?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana respon
tanaman bayam (Amaranthus
sp.) yang ditanam secara
hidroponik terhadap
salinitas.
Manfaat
Penelitian
Penelitian yang
dilakukan diharapkan dapat berguna dalam memberikan sumbangan yang positif terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang agronomi dan juga agar hasil penelitian yang diperoleh
dapat dijadikan landasan dan bahan pertimbangan bagi petani atau instansi
pemerintah yang terkait dalam usaha meningkatkan hasil tanaman bayam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salinitas
Salinitas adalah keadaan dengan kadar konsentrasi garam yang
berlebihan, sehingga menekan pertumbuhan tanaman. Penekanan ini lebih
disebabkan oleh konsentrasi total garam terlarut, bukan pengaruh garam
tertentu. Macam garam hanya berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan tanaman
(Syamsuardi, 1992 ) Tumbuhan
umumnya melakukan osmoregulasi untuk mengatasi cekaman air pada lingkungan
salin. Osmoregulasi adalah upaya tumbuhan
untuk menjaga turgor sel dengan mengakumulasi solut yang memiliki berat molekul
rendah atau nilai osmotik tinggi (Firdaus, L.N,dkk.
2006), sedangkan menurut hasil penelitian Kusmiyati et al. (2002) menunjukkan
pengelolaan tanah salin dengan pertambahan luas daun, serta laju pertumbuhan daun
berbanding linier dan terbalik (negatif) dengan kenaikan salinitas.
Irwan,
A.W. (2000)
menyatakan pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan perubahan struktur
tanaman yaitu antara lain lebih kecilnya ukuran daun. Penyerapan hara dan air
yang berkurang akan menghambat laju fotosintesis yang pada akhirnya akan
menghambat pertumbuhan tanaman.
Natrium klorida (NaCl), juga dikenali dengan garam biasa,
garam makan atau halit, adalah satu sebatian kimia yang menyebabkan kemasinan
laut dan juga cecair dalaman dalam organisma multisel. Sebagai bahan utama dalam garam makan, ia
biasanya digunakan sebagai pengawet makanan, contohnya ikan asin, dan
lain-lain.
Natrium nitrat banyak terdapat di Chili, karena itu senyawa
ini dinamakan senyawa chili. Sifatnya higroskopis sehingga untuk berbagai
keperluan natrium nitrat yang lebih mudah itu diubah menjadi kalium nitrat.
Produksi berbagai garam dari sumbernya bergantung pada prinsip kristalisasi
selektif (Annonim. 2010).
Natrium klorida juga dikenal dengan garam dapur atau halit
adalah senyawa kimia dengan unsur kimia NaCl. Senyawa ini adalah garam yang mempengaruhi
salinitas laut dan cairan ekstrakulikuler pada banyak organisme multiseluler.
Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan
sebagai bumbu dan pengawet makanan (Anonim, 2010).
Natrium Klorida (NaCl) ini mempunyai peran dalam pertumbuhan
karena NaCl ini jika terurai maka akan menghasilkan Na+ dan Cl-.
Unsur Natrium (Na) itu mempunyai fungsi yang sama seperti unsur Kalium (K)
sehingga dapat menggantikan fungsi dari Kalium (K) dalam mengaktifkan hormon-hormon
pertumbuhan (Bernstein dan Hayward, 1999).
Pengaruh
Natrium Klorida atau garam ini pada pertumbuhan tanaman berhubungan dengan “ Water
deficit” yang disebabkan oleh “Osmotic inhibition” atau oleh ion-ion
spesifik yang meracuni secara tidak langsung dan terjadi ketidakseimbangan pada
tanaman sehingga akan mengekibatkan penyerapan ion-ion menjadi tidak baik.
Tetapi pemberian Natrium Klorida (NaCl) dengan konsentrasi yang rendah dapat
merangsang pertumbuhan tanaman. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Stuiver, et al (1981) yang menyatakan Na+ dapat menggantikan
peran K+ dalam tanaman (Bernstein dan Hayward, 1999).
Karakteristik Lingkungan Salin
Firdaus, L.N,dkk. (2006)
menyatakan bahwa lahan salin adalah
lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air asin lebih dari tiga
bulan dalam setahun dengan kandungan Na dalam larutan tanah > 8 %. Menurut
Bernstein dalam Suwarno (1985) tanah salin adalah tanah yang mengandung garam-garam
yang dapat larut lebih dari 0.1 % atau berdaya hantar listrik lebih dari 4
mmhos/cm atau sekitar 2 560 ppm. Menurut Notohadiprawiro (1998) daya tanah
menghantarkan listrik (electric conductivity ) dapat digunakan untuk menaksir
kadar garam terlarut tanah. Nilai electric conductivity dinyatakan dengan satuan mS/cm. Bernstein and H. E. Hayward. (1999) mengklasifikasikan
tanah berkadar garam kedalam lima kelas yaitu kelas bebas garam (0-2 mS/cm),
agak bergaram (2-4 mS/cm), bergaram cukup (4-8 mS/cm), bergaram agak banyak
(8-15 mS/cm) dan bergaram banyak (>15 mS/cm).
Menurut Pardosi (1998), pada umumnya salah satu penyebab salinitas di
Indonesia ialah pasang surut air laut yang menimpa daerah pantai dan adanya
instrusi (perembesan) air laut terutama di dataran rendah dan di daerah
pesisir. Sugiyarto, Kristian. H.( 2003), menyatakan bahwa pada wilayah kering,
lahan yang berdrainase buruk dan evaporasi yang lebih tinggi dari pada jumlah
hujan akan menyebabkan garam-garam yang dapat larut dan Na yang dapat ditukar
terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar untuk mengganggu pertumbuhan tanaman.
Hal ini dapat terjadi apabila letak air tanah berada pada tingkat yang tinggi
atau dekat permukaan tanah.
Menurut
Rubatzky
dan Yamaguchi, (1999) evaporasi selama musim kering
membawa garam ke permukaan tanah dan terakumulasi pada wilayah tersebut sebagai
garam biasa atau berupa kerak, sehingga mencegah pertumbuhan tanaman pada
umumnya kecuali halophyta. Djazuli, Muhamad. (2010) menyatakan bahwa senyawa garam yang
dominan pada tanah salin di daerah pantai adalah Natrium Klorida (NaCl).
Cekaman Salinitas
Menurut Suwarno (1999) pengaruh salinitas terhadap tanaman
mencakup tiga aspek yaitu : mempengaruhi tekanan osmosa, keseimbangan hara, dan
pengaruh racun. Disamping itu, NaCl dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah dan
selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Berkurangnya laju dan kualitas pertumbuhan tanaman pada
kondisi salin dapat disebabkan karena menurunnya potensial air dari substrat
tempat tumbuh, meningkatnya penyerapan Na dan Cl, atau keduanya (Soepardi, G., 1999). Tanaman yang dihadapkan pada potensial osmotik yang
rendah dari larutan tanah bergaram akan terkena resiko stress karena
tanaman-tanaman tersebut harus mempertahankan potensial internal osmotik yang
lebih rendah dalam rangka untuk mencegah pergerakan air akibat osmosis dari akar
ke tanah. Tanaman mungkin akan menyerap ion untuk mempertahankan potensial
osmotik internal yang rendah, namun hal ini akan menyebabkan kelebihan ion yang
pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan pertumbuhan pada beberapa
tanaman (Rubatzky
dan Yamaguchi, 1999). Anonim, (2010) menambahkan bahwa salinitas
tanah akan menghambat pembentukan akar-akar baru, penurunan permeabilitas akar
terhadap air sehingga akar tanaman mengalami kesukaran dalam menyerap air
karena tingginya tekanan osmosis larutan tanah.
Irwan, A.W. (2000)
menyatakan ion seperti Natrium dan
Klorida, yang lazim terdapat pada tanah bergaram dapat merusak organel sel,
mengganggu fotosintesis dan respirasi, serta menghambat sintesis protein dan
mendorong kekurangan ion. Levitt (1980) menyatakan bahwa keracunan Na maupun Cl
dapat ditandai dengan mengeringnya tepi bagian ujung daun. Gejala tersebut
sangat sulit dibedakan dengan gejala kekeringan.
Tanah
salin dapat juga menyebabkan ketidakseimbangan ketersediaan hara bagi tanaman,
hal ini disebabkan karena kadar hara tertentu tersedia dalam jumlah yang tinggi
dan dapat menekan ketersediaan unsur hara lainnya. Disamping itu adanya bahaya
keracunan dari Na, Cl dan ion-ion lainnya (Shannon,
M.C., 1999).
Toleransi Tanaman terhadap Salinitas
Tanaman sampai batas-batas tertentu masih dapat mengatasi
tekanan osmotik yang tinggi akibat tingginya kandungan garam dalam tanah.
Toleransi tanaman terhadap salinitas dapat dinyatakan dalam berbagai cara
diantaranya kemampuan tanaman untuk hidup pada tanah salin, produksi yang
dihasilkan pada tanah salin, persentase penurunan hasil setiap unit peningkatan
salinitas tanah (Shannon, M.C., 1999).
Tanaman dapat menghindari terjadinya ketidakseimbangan hara
atau keracunan dengan empat cara yaitu: eksklusi, ekskresi, sekresi dan dilusi.
Eksklusi terjadi secara pasif dengan adanya dinding sel yang tidak permeable terhadap
ion-ion dari garam tersebut. Ekskresi dan sekresi merupakan pemompaan ion
secara aktif masing-masing ke luar tanaman dan ke dalam vakuola. Dilusi dapat
terjadi dengan adanya pertumbuhan yang cepat. Hal ini disimpulkan dari hasil
analisis bahwa bagian yang tumbuh cepat mengandung Na dan Cl lebih rendah dari
bagian yang tumbuh lambat (Levitt, 1980).
Menururt Levitt (1980) tanaman dapat toleran terhadap NaCl
karena mempunyai kemampuan menahan pengaruh racun dari NaCl dan ketidakseimbangan
hara. Toleransi terhadap defisiensi K dapat dimiliki tanaman yang mampu
memanfaatkan Na untuk menggantikan sebagian K yang dibutuhkan. Kusmiyati et
al. 2002 menambahkan bahwa toleransi pada garam nampaknya berhubungan
dengan ketidakmampuan tanaman yang rentan untuk mengurangi pengangkutan ion Na+
dan Cl- ke pucuk.
Mekanisme
morfologi tanaman terhadap ketahanan salinitas dapat dilihat dari ukuran daun
lebih kecil, jumlah stomata lebih sedikit, berkurangnya diferensiasi dan
perkembangan jaringan pembuluh. Mekanisme fisiologis adalah kemampuan tanaman
menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik yang mencakup penyerapan maupun
akumulasi ion-ion dan sintesis senyawa organik, mengatur konsentrasi garam
dalam sitoplasma melalui transport membran, dan ketahanan relatif membran dalam
mengatur transfer ion dan solut lainnya dari sitoplasma dan vakuola serta
organel lainnya (Botella
M. A., 2000).
Hidroponik
Hidroponik berasal dari kata bahasa Yunani hydro yang berarti
air dan ponos yang berarti bekerja. Jadi, hidroponik artinya pengerjaan air
atau bekerja dengan air. Dalam praktiknya hidroponik dilakukan dengan berbagai
metode, tergantung media yang digunakan. Adapun metode yang digunakan dalam
hidroponik, antara lain metode kultur air (menggunakan media air), metode
kultur pasir (menggunakan media pasir), dan metode porus (menggunakan media
kerikil, pecahan batu bata, dan lain-lain). Metode yang tergolong berhasil dan
mudah diterapkan adalah metode pasir, (Falah, M. A. F. 2006).
Pada umumnya orang bertanam dengan menggunakan tanah. Namun,
dalam hidroponik tidak lagi digunakan tanah, hanya dibutuhkan air yang ditambah
nutrien sebagai sumber hara bagi tanaman. Bahan
dasar yang dibutuhkan tanaman adalah air, mineral, cahaya, dan CO2.
Cahaya telah terpenuhi oleh cahaya matahari. Demikian pula CO2 sudah
cukup melimpah di udara. Sementara itu kebutuhan air dan mineral dapat
diberikan dengan sistem hidroponik, artinya keberadaan tanah sebenarnya
bukanlah hal yang utama, (Sutiyoso,
Y. 2003). Beberapa
kelebihan tanaman dengan sistem hidroponik antara lain :
1. Ramah lingkungan karena tidak
menggunakan pestisida atau obat hama yang dapat merusak tanah, menggunakan air
hanya 1/20 dari tanaman biasa, dan mengurangi CO2 karena tidak perlu
menggunakan kendaraan atau mesin.
2. Bisa memeriksa akar tanaman secara
periodik untuk memastikan pertumbuhannya.
3. Pemakaian air lebih efisien karena penyiraman
air tidak perlu dilakukan setiap hari sebab media larutan mineral yang
dipergunakan selalu tertampung di dalam wadah yang dipakai.
4. Hasil tanaman bisa dimakan secara keseluruhan
termasuk akar karena terbebas dari kotoran dan hama.
5. Lebih hemat karena tidak perlu menyiramkan air
setiap hari, tidak membutuhkan lahan yang banyak, media tanam dapat dibuat
secara bertingkat.
6. Bisa menghemat pemakaian pupuk
tanaman
7. Tidak perlu banyak tenaga kerja.
8. Dapat ditanam kapan saja karena
tidak mengenal musim.
Teknik Hidroponik
Terdapat dua
teknik utama dalam cara bercocok tanam hidroponik. Yang pertama menggunakan larutan dan satunya
menggunakan media. Metode yang
menggunakan larutan tidak membutuhkan media keras untuk pertumbuhan akar, hanya
cukup dengan larutan mineral bernutrisi.
Contoh cara dalam teknik larutan yang umum dipakai adalah teknik larutan
statis dan teknik larutan alir.
Sedangkan untuk media adalah tergantung dari jenis media yang
dipergunakan, bisa berupa sabut kelapa, serat mineral, pasir, pecahan batu
bata, serbuk kayu, dan lain-lain sebagai pengganti media tanah. Berikut uraian beberapa teknik hidroponik
yang sering dipakai yakni :
1. Teknik Larutan
Statis
Teknik ini telah
lama dikenal, yaitu sejak pertengahan abad ke-15 oleh bangsa Aztec. Dalam teknik ini, tanaman disemai pada media
tertentu bisa berupa ember plastik, baskom, bak semen, atau tangki. Larutan biasanya dialirkan secara pelan-pelan
atau tidak perlu dialirkan. Jika tidak
dialirkan, maka ketinggian larutan dijaga serendah mungkin sehingga akar
tanaman berada di atas larutan, dan dengan demikian tanaman akan cukup
memperoleh oksigen. Terdapat lubang
untuk setiap tanaman. Untuk menghasilkan
gelembung oksigen dalam larutan, bisa menggunakan pompa aquarium. Larutan bisa diganti secara teratur, misalnya
setiap minggu, atau apabila larutan
turun dibawah ketinggian tertentu bisa diisi kembali dengan air atau larutan
bernutrisi yang baru.
2. Teknik Larutan
Alir
Suatu cara
bertanam hidroponik yang dilakukan dengan mengalirkan teus menerus larutan
nitrisi dari tangki besar melewati akar tanaman. Teknik ini lebih mudah untuk pengaturan
karena suhu dan larutan bernutrisi dapat diatur dari tangki besar yang bisa
dipakai untuk ribuan tanaman. Salah satu
teknik yang banyak dipakai dalam cara teknik larutan alir ini adalah teknik lapisan
nitrisi (nutrient film technique)
atau dikenal sebagai NFT (Ridho’ah, M. dan N. R. Hidayati. 2005).
3. Teknik Agregat
Media
Teknik ini
menggunakan media tanam berupa kerikil, pasir, arang sekam, batu bata, dan
media lainnya yang disterilkan terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk mencegah
adanya bakteri di media. Pemberian nutrisi dilakukan dengan teknik mengairi
media tersebut dengan pipa dari air larutan bernutrisi yang ditampung dalam
tangki atau tong besar.
Larutan Nutrisi
Dalam sistem
hidroponik pemberian unsur hara sangat penting karena dalam medianya tidak
terkandung zat hara yang dibutuhkan tanaman. Berbeda dengan penanaman di
tanah. Tanah sendiri telah mengandung
zat hara sehingga pemupukan hanya bersifat tambahan. Jadi, pemberian nitrien
untuk tanaman hidroponik harus sesuai jumlah dan macamnya serta diberikan
secara kontinu (Prihmantoro, 1999).
Menurut Untung
(2000) bahwa bahan baku pupuk harus mempunyai daya larut yang bagus sekali,
tidak ada endapan bila bahan dilarutkan dalam air. Hartus (2007) menyatakan bahwa larutan
nutrisi harus memenuhi persyaratan :
1. Mengandung 14 unsur hara essensial.
2. Konsentrasi dan dosis nutrisi tepat untuk
setiap jenis tanaman.
3. pH larutan tepat dan volume yang
disiramkan sesuai dengan tahap pertumbuhan (kebutuhan tanaman).
Disebut essensial
karena mutlak diperlukan. Unsur hara
essensial dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan hara mikro. Unsur hara
makro merupakan unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah
banyak. Sementara unsur hara mikro
merupakan unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah kecil. Tanpa kehadiran unsur hara makro dan mikro
yang cukup maka tanaman akan memperlihatkan gejala defisiensi dan bentuknya
berubah dari biasanya atau disebut malforasi (Sutiyoso, 2004).
Larutan nutrisi
sebagai sumber pasokan air dan mineral nutrisi merupakan faktor penting untuk
pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman hidroponik sehingga harus tepat dari
segi jumlah, komposisi ion nutrisi dan suhu.
Larutan nutrisi ini dibagi dua, yaitu unsur makro (C,H,O,N,P,S,K,Ca dan
Mg) dan mikro (B,Cl,Cu,Fe,Mn,Mo, dan Zn).
Pada umumnya kualitas larutan nutrisi ini diketahui dengan electrial conductivity (EC) larutan
tersebut (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Selain EC dan
konsentrasi larutan nutrisi, suhu dan pH merupakan komponen yang sering
dikontrol untuk dipertahankan pada tingkat tertentu untuk optimalisasi
tanaman. Suhu dan pH larutan nutrisi
dikontrol dengan tujuan agar perubahan yang terjadi oleh penyerapan air dan ion
nutrisi tanaman (terutama dalam hidroponik dengan sistem yang tertutup) dapat
dipertahankan (Susila, 2006).
Suhu yang terlalu
rendah dan terlalu tinggi pada larutan nutrisi dapat menyebabkan berkurangnya
penyerapan air dan ion nutrisi, untuk tanaman sayuran suhu optimal antara 5-150C
dan tanaman buah antara 15-250C.
Beberapa tanaman sayuran dan buah dipertahankan mempunyai tingkat pH dan
EC tertentu yang optimal (Lingga, 2000).
Tanaman
Bayam
Sistematika
Tanaman Bayam
Bayam merupakan tanaman ekonomis yang
mempunyai keunggulan komparatif, antara lain tidak terlalu banyak gangguan hama
penyakit maupun kondisi lingkungan yang sub optimal karena tanaman bayam cukup
responsif menerima masukan yang relatif seadanya. Selain itu tanaman bayam mengandung banyak
nutrisi yang diperlukan oleh masyarakat.
Keluarga bayam-bayaman (Amaranthaceae) terdiri dari banyak spesies. Klasifikasi tanaman bayam secara umum menurut Hidayat, E.B. 2000 adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Plantae
Divisio
:
Spermatophyta
Sub – division : Angiospermae
Class
:
Dicotyledonae
Ordo :
Amaranthales
Family
:
Amaranthaceae
Genus
:
Amarnthus
Spesies
:
Amaranthus sp.
Bentuk tanaman bayam adalah terma (perdu), tinggi tanaman dapat mencapai 1,5 – 2 m,
berumur semusim atau lebih. System perakaran menyebar dangkal pada kedalaman
antara 20 – 40 cm dan berakar tunggang (Prawiranata, W., S.
Harran, dan P. Tjondronegoro. 1995.)
Batang tanaman bayam kecil berbentuk bulat, lunak, dan
berair. Batang tumbuh tegak bisa mencapai satu meter dan percabangannya
monopodial. Batangnya ada yang
berwarna merah dan berwarna hijau (Firdaus, L.N,dkk. 2006).
Daun tanaman bayam adalah daun tunggal. Berwarna kehijauhan,
bentuk bundar telur memanjang (ovalis). Panjang daun 1,5 sampai 6,0 cm. lebar
daun 0,5 sampai 3,2 cm. ujung daun obtusus (tumpul). Tangkai daun berbentuk
bulat dan permukaannya opacus (suram) (Firdaus, L.N,dkk. 2006).
Merupakan
bunga berkelamin tunggal, yang berwarna hijau. Setiap bunga memiliki 5 mahkota,
panjangnya 1,5 – 2,5 mm. kumpulan
bunga berbentuk bulir untuk bunga jantan (Prawiranata, W., S.
Harran, dan P. Tjondronegoro. 1995.). Tanaman bayam biasanya diperbanyak
dengan biji dan sangat toleran terhadap kekeringan. Umur pascapanen bayam relatif singkat karena
daunnya lembut dan cepat layu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).
Syarat Tumbuh
Tanaman bayam cocok ditanam baik di dataran tinggi maupun
didataran rendah dengan curah hujan bisa mencapai lebih dari 1.500 mm / tahun. Tanaman bayam memerlukan cahaya matahari penuh. Kebutuhan
akan sinar matahari untuk tanaman bayam cukup besar. Suhu udara yang sesuai
untuk tanaman bayam berkisar antara 16 - 20 derajat C. Kelembaban udara yang cocok untuk tanaman bayam antara 40 -
60% (Mangun, H.M.S.
2005). Tanaman bayam
dapat tumbuh didataran rendah maupun didataran tinggi dengan ketinggian tempat yang baik yaitu ±2000 m dpl (Kardinan, A. dan L. Mauludi. 2004)
Kandungan
Gizi Tanaman Bayam
Tanaman
bayam merupakan sayuran penting dan banyak digemari masyarakat, karena
mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Setiap 100 gram bahan tanaman yang
dapat dikonsumsi terkandung protein 3,5g, lemak 0,5g, serta
calsium, fosfor, besi dan kalium masing-masing
sebesar 267, 67, 3,9, dan 411 mg. Sedangkan kandungan vitamin antara
lain vitamin A 6100 Iu, vitamin C 80 mg, thiamin 0,08 mg, dan riboflavin
0,16 mg (Watt dan Merill dalam National Academic Press ,1994).
Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama
Serangga ulat daun (Spodoptera
Plusia Hymenia) Gejala:
daun berlubang-lubang.
Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan tanaman. Serangga kutu daun (Myzus persicae Thrips sp.) Gejala: daun rusak, berlubang dan
layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan tanaman. Serangga tungau (Polyphagotarsonemus latus) Gejala: daun rusak, berlubang dan
layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan tanaman. Serangga lalat (Liriomyza sp.) Gejala:
daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan
menggoyangkan tanaman, (Mangun, H.M.S.
2005).
Penyakit
Rebah kecambah, penyebab: cendawan
Phytium sp. Gejala: menginfeksi batang daun. Pengendalian: Fungisida. Busuk basah, penyebab: cendawan Rhizoctonia sp. Gejala: adanya bercak - bercak putih.
Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah. Karat putih, penyebab: cendawan Choanephora sp. Gejala: menginfeksi batang daun dan
daunnya. Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah, (Kardinan, A. dan L. Mauludi. 2004).
Kerangka Pemikiran
Kebutuhan
sayuran bayam terus meningkat dari tahun ke tahun sementara areal untuk
pertanaman sayuran semakin sempit hal ini disebabkan karena wilayah Indonesia
sebagian besar merupakan daerah rawa. Sebagian besar dari rawa tersebut
merupakan rawa pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut maka masalah
salinitas harus diatasi. Salah satu usaha menanggulangi masalah tersebut adalah
dengan melakukan intensifikasi lahan dan juga menanam tanaman yang toleran pada
kondisi salin.
Kebutuhan sayuran bayam meningkat di masyarakat
|
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, maka
dapatlah dibuat suatu hipotesis yang berfungsi sebagai acuan dalam penelitian
ini, yaitu
Tingginya konsentrasi kadar garam
akan memberikan pengaruh negatif terhadap respon tanaman bayam (Amaranthus sp) yang ditanam secara
hidroponik.
BAB III
METODE
PENELITIAN
Lokasi dan
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Balaikembang,
Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada
bulan Mei
sampai Juli
2012.
Bahan
dan Alat
Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini benih bayam, air, garam dapur (NaCl), pupuk cair.
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah nampan (tempat penyemaian), box gabus, gelas aqua, timbangan, pompa
gelembung aquarium, selang, pinset, mistar dan alat tulis-menulis.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3
kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan dan setiap perlakuan terdiri dari 2 unit tanaman, dengan konsentrasi larutan NaCl sebagai
berikut:
P0 : Kontrol (tanpa perlakuan NaCl)
P1 : 1,25 gr/l
P2 : 2,50 gr/l
P3: 3,75
gr/l
Dengan model matematik sebagai berikut :
Yij
= µ + τi + ϵ
ij
Dimana:
Yij = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = rata-rata umum
τi = penyimpangan hasil dari nilai µ yang disebabkan oleh pengaruh perlakuan ke-i
ϵ
ij = pengaruh acak yang masuk ke dalam
percobaan.
Data
yang diperoleh dianalisis secara stastistik dengan menggunakan sidik ragam (uji
F). Apabila analisis
sidik ragam menunjukkan
pengaruh nyata,
maka dilakukan uji beda nilai tengah
dengan BNJ/Uji Tukey.
No comments:
Post a Comment