Thursday, December 15, 2011

nasib reformasi pertanian

BERKIBLAT dari masa lalu, sektor pertanian memang tidak pernah mendapatkan
tempat terbaik dalam dinamika ekonomi nasional.

Dalam masa ketercapaian swasembada beras tahun 1984, Indonesia mendapat
legitimasi kecukupan pangan dari dunia internasional melalui penghargaan dari
FAG. Akan tetapi jika dicermati secara komprehensif, swasembda beras yang diraih
tidaklah mewakili kesuksesan sistem pertanian secara keseluruhan dalam
pembangunan nasional.


Banyak literatur lainnya yang terbit sejak orde baru berkuasa yang
menegaskan ketidakberdayaan sektor pertanian dalam menghadapi tantangan global.
Secara awam kitapun bisa menilai dari beberapa indikator seperti tingkat
kesejahteraan petani yang sangat rendah dan bahkan usaha tani yang digelutinya
merugi, pembiayaan usaha tani yang terbatas, ketidakmampuan petani mendapatkan
sarana produksi (saprodi), harga jual komoditi pertanian yang rendah, dan
beragam masalah yang melilit kaum tani.

Akibatnya banyak petani alih profesi ke sektor lainnya karena usaha tani
tidak menjanjikan, konversi lahan pertanian ke non pertanian yang kian
meningkat, serta konsekuensi lainnya dan bahkan secara makro Indonesia masih
mengandalkan impor beras untuk memenuhi kecukupan pangan nasional.

Dalam kondisi keterpurukan sektor ini selama masa orde baru, era reformasi
memberikan harapan-harapan baru bagi sektor pertanian. Desakan reposisi sektor
pertanian menjadi sektor unggulan, reformasi sistem pertanian, proteksi terhadap
petani menjadi wacana yang tiada henti-hentinya disuarakan oleh komunitas
akademisi, aktivis dan masyarkat tani lainnya yang cukup lama memperjuangkan
hak-hak kaum tani dan sektor pertanian.

Jargon back to nature, gerakan kembali ke desa, dan jargon lainnya
menyemarakkan pergulatan sektor pertanian dalam mendapatkan tempat dalam era
keterbukaan, awal mula menapaki era reformasi.

Reformasi pertanian yang dimaksud merupakan penataan secara keseluruhan
proses pemanfaatan sumber daya alam, manusia dan modal dalam pembangunan
pertanian untuk mencapai sasaran pemberdayaan usaha pertanian, peningkatan
kesejahteraan petani, nilai tambah dari sektor hulu dan hilir, daya saing produk
olah pertanian dan keberlanjutan usaha (Solahuddin, 1998). Konsep reformasi
pertanian ini setidaknya terwadahi dalam dasar-dasar kebijakan pembangunan
nasional yang disusun sejak awal mula era reformasi bergulir.

Dalam TAP MPR No XlMPRJ1998 tentang pemulihan perekonomian nasional,
ditegaskan beberapa agenda reformasi pertanian yakni:

1.. Menciptakan sektor pertanian menjadi sektor andalan dan mesin
penggerak ekonomi nasional melalui peningkatan produktivitas, efisiensi dan
kualitas.

2.. Kebijakan pembangunan pertanian akan selalu dicirikan oleh
keberpihakan kepada petani dalam upaya untuk memberdayakan dan meningkatkan
kemandirian petani sebagai subyek pembangunan guna meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat petani/pedesaan.

3.. Mempertajam implementasi misi pembangunan pertanian dalam upaya
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan

4.. Meningkatkan keterkaitan subsistem pertanian dan subsistem yang
lainnya (prasarana, pengolahan pemasaran dan distribusi) dalam kerangka
pengembangan agribisnis.

5.. Meningkatkan keberdayaan petani dan kelembagaan kelompok tani agar
mampu secara efektif mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan petani.

6.. Program pembangunan pertanian dan aparat pertanian diarahkan untuk
memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat petani dan nelayan khususnya.

7.. Mempertajam orientasi dan arah pengembangan komoditi pertanian
dengan mengacu pada dinamika pasar, produk unggulan berdaya saing tingi,
berwawasan lingkungan, berwawasan lingkungan dan terintegrasi dengan sektor dan
subsistem ekonomi lainnya.

8.. Mendorong proses demokratisasi dalam pembangunan pertanian melalui
langkah revitalisasi kelembagaan dan aparat pemerintah, percepatan pelaksanaan
otonomi di bidang pertanian dan menerapkan perencanaan wilayah sebagai sentra
pengembangan produksi.

Dalam berbagai perspektif, amanat TAP MPR tersebut dipandang sangat
akomodatif terhadap ragam gagasan dan keinginan dari masyarkat tani untuk keluar
dari keterpurukan, keterbelakangan atau bahkan lebih ekstrim muncul terminologi
penindasan waktu itu. Pemerintah mulai menyadari urgensi dari sektor ini untuk
menyelesaikan masalah-masalah nasional yang dihadapi antara lain pengangguran,
kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan.

Setelah krisis ekonomi di penghujung abad -20, dimana sektor industri
manufacture dan usaha sejenis tiarap dan sebagian besar ambruk dengan segala
multi efek yang ditimbulkannya, pemerintahan reformasi menyadari struktur
ekonomi yang sangat rapuh tersebut menjadi catatan buruk dan sektor pertanian
menjadi sandaran utama untuk mendongkrak gairah ekonomi yang lesu.

Sejalan dengan formulasi kebijakan yang dirumuskan, pemerintah sempat
meluncurkan beberapa program strategis yang dirancang untuk "membumikan"
kebijakan makro pertanian yang tekstual dan reformatif. Kita teringat dengan
program Peningkatan Ketahanan pangan melalui pemberdayaan masyarakat/petani
(PKPN-MPMP) yang diterjemahkan dalam program taktis seperti GEMA PALAGUNG untuk
sektor tanaman pangan, GEMA PROTEINA di bidang peternakan dan GEMA HORTINA untuk
komoditas holtikultura.

Kemudian ada program ekstensifikasi melalui pembukaan 9 juta hektar lahan
pertanian sebagai salah satu program dalam era kepemimpinan SBY, dan program
lainnya yang disusun seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional dan
perombakan kabinet di sektor pertanian dalam artian yang luas.

Kehilangan Vitalitas

Presiden SBY dalam berbagai kesempatan termasuk saat penutupan Sidang
Pleno Konferensi Dewan Ketahanan Pangan belum lama ini di Istana Bogor mengimbau
seluruh pimpinan daerah untuk kembali ke pertanian, karena sektor ini menjadi
solusi utama dalam pengentasan kemiskinan.

Himbauan ini dirasa tidaklah cukup, apalagi hanya sebatas wacana. Konsep
reformasi pertanian yang sudah dicanangkan dengan berbagai turunan kebijakan
operasionalnya kenyataanya seakan kehilangan vitalitasnya.

Beberapa parameter untuk mengukur ketercapaian agenda reformasi antara
lain peningkatan pendapatan petani produsen, mengurangi fluktuasi harga,
perlindungan konsumen, efisiensi dan produktivitas usaha tani, insentif untuk
produksi, mengurangi kesenjangan (gap) sektor pertanian dengan sektor lainnya,
serta pertanian yang berkelanjutan, secara kontekstual semuanya belum
menunjukkan hasil yang memadai.

Kondisi faktual lainnya yang cukup memprihatinkan yakni keinginan
pemerintah untuk melaksanakan impor beras untuk menghadapi ketersediaan pangan.
Siklus pergantian pimpinan nasional yang sudah berjalan beberapa periode dalam
masa reformasi ternyata belum menjamin sektor ini terdongkrak dari
keterpinggirannya.

Akhirnya pertanyaan mendasar yang diyakini jawabannya masih di "awan-awan"
menjelang satu dekade era reformasi bagi kaum tani dan dunia pertanian adalah
kenapa usaha tani meraka selalu merugi?, kenapa harga jual produk pertanian
sangat rendah? (*)

No comments:

Post a Comment