Klasifikasi Secara Umum
Dalam bahasa
Inggris cacing sering disebut dengan istilah worm, vermes, dan helminth.
Cacing, dalam kerajaan binatang termasuk hewan invertebrata atau tanpa tulang
belakang. Cacing diklasifikasikan kedalam tiga phylum, yaitu Platyhelminthes,
Aschelminthes (Nemathelminthes), dan Annelida (Listyawan, et.al. 1998).
Platyhelminthes
merupakan kelompok cacing yang berbentuk pipih, ada yang parasit dan ada yang
tidak. Platyhelminthes dibagi dalam tiga kelas yakni Turbelaria, Trematoda dan
Cestoda. Kelompok Turbelaria umumnya hidup bebas dan tidak bersifat parasit.
Contohnya adalah cacing planaria dan microstomum. Di alam, planaria merupakan
hewan indikator perairan yang tidak tercemar. Kelompok Trematoda dan Cestoda
umumnya bersifat parasit. Contoh dari kelompok Trematoda adalah cacing Fasciola
hepatica (cacing hati), Eurytrema pancreaticum (cacing kelenjar pankreas), dan
Schistosoma japonicum (cacing pembuluh darah). Sementara itu contoh dari
kelompok Cestoda adalah cacing pita (Taenia saginata dan T. solium) (Listyawan,
et.al. 1998).
Phylum
Aschelminthes terbagi menjadi dua kelas yaitu Nematoda dan Rotifera. Cacing
dari phylum ini berbentuk silindris. Nematoda umumnya bersifat parasit,
contohnya adalah cacing yang hidup di usus mamalia seperti Ascharis lumbricoides,
A. suum, dan Ancylostoma duodenale (Listyawan, et.al. 1998).
Phylum yang
terakhir yaitu Annelida, yaitu cacing yang bersegmen seperti cincin. Phylum ini
terbagi menjadi tiga kelas yaitu Polychaeta, Hirudinea, dan Oligochaeta.
Polycaheta merupakan kelompok cacing yang memiliki banyak seta atau sisir di
tubuhnya, contohnya adalah Nereis dan Arenicola. Sedangkan contoh dari kelompok
Hirudinea adalah lintah dan pacet (Hirudo medicinalis dan Haemadipsa
zeylanica). Kelas terakhir dari phylum Annelida adalah Oligochaeta dimana
cacing tanah termasuk di dalamnya (Listyawan, et.al. 1998).
Jenis-jenis
Cacing Tanah
Cacing tanah
oleh beberapa praktisi dikelompokan berdasarkan warnanya yaitu kelompok merah
dan kelompok abu-abu. Kelompok warna merah antara lain adalah Lumbricus
rubellus (the red woorm), L. terestris (the night crawler), Eisenia foetida
(the brandling worm), Dendroboena, Perethima dan Perionix. Sedangkan kelompok
abu-abu antara lain jenis Allobopora (the field worm) dan Octolasium
(Listyawan, et.al. 1998). Pada dasarnya cacing tanah adalah organisme saprofit,
bukan parasit dan tidak butuh inang. Ia murni organisme penghancur sampah.
Jenis cacing
yang umum dikembangkan di Indonesia adalah L. rubellus. Cacing ini berasal dari
Eropa, ditemukan di dataran tingi Lembang – Bandung oleh Ir. Bambang Sudiarto
pada tahun 1982. Dilihat dari morfologinya, cacing tersebut panjangnya antara
80 – 140 mm. Tubuhnya bersegmen-segmen dengan jumlah antara 85 – 140.
Segmentasi tersebut tidak terlihat jelas dengan mata telanjang. Yang terlihat
jelas di bagian tubuhnya adalah klitelum, terletak antara segmen 26/27 – 32.
Klitelum merupakan organ pembentukan telur. Warna bagian punggung (dorsal)
adalah coklat merah sampai keunguan. Sedangkan warna bagian bawah (ventral)
adalah krem. Pada bagian depan (anterior) terdapat mulut, tak bergigi. Pada
bagian belakang (posterior) terdapat anus (Listyawan, et.al. 1998).
Sifat Cacing
Tanah
Cacing tanah
tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya karena cacing bersifat hermaprodit alias
dalam satu tubuh terdapat dua alat kelamin, jantan dan betina. Namun cacing
tanah tidak dapat melakukan perkawinan sendirian. Untuk kawin ia membutuhkan
pasangan untuk pertukaran sperma (Simandjuntak, 1982).
Cacing tanah
merupakan hewan nokturnal dan fototaksis negatif. Nokturnal artinya aktivitas
hidupnya lebih banyak pada malam hari sedangkan pada siang harinya istirahat.
Fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu menghindar kalau ada cahaya,
bersembunyi di dalam tanah. Bernafasnya tidak dengan paru-paru tetapi dengan
permukaan tubuhnya. Oleh karena itu permukaan tubuhnya selalu dijaga
kelembabannya, agar pertukaran oksigen dan karbondioksida berjalan lancar.
Usia cacing
tanah bisa mencapai 15 tahun, namun umur produktifnya hanya sekitar 2 tahun.
Cacing dewasa yang berumur 3 bulan dapat menghasilkan kokon sebanyak 3 kokon
per minggu. Di dalam kokon terdapat telur dengan jumlah antara 2 – 20 butir.
Telur tersebut akan menetas menjadi juvenil (bayi cacing) setelah 2 – 5 minggu.
Rata-rata hidup cacing adalah 2 ekor perkokon. Cacing akan menjadi dewasa dan
siap kawin wetelah berumur 2 – 3 bulan (Maskana, 1990).
Dalam
pertumbuhannya, pertambahan berat cacing sampai berumur satu bulan adalah
sekitar 400 persen, 1 – 2 bulan 300 persen, dan 2 –3 bulan 100 persen. Dalam satu
siklus (3 bulan) 1 kg induk cacing menghasilkan 6 kg cacing. Dalam 1 kg cacing
terdapat sekitar 2000 ekor. Sedangkan berat keringnya adalah sekitar 20 persen
dari berat basah (Maskana, 1990).
No comments:
Post a Comment