Tuesday, November 15, 2011

Strategi Pembangunan Pertanian Indonesia

Strategi Pembangunan Pertanian Indonesia

Pendahuluan: Tantangan Baru
Artikel ini adalah pemikiran untuk merumuskan dan melaksanakan strategi pembangunan pertanian Indonesia mengingat tantangan (dan peluang) ke depan lebih kompleks dan saling berkait erat. Pembangunan pertanian Indonesia pada beberapa tahun ke depan masih akan dihadapkan pada beberapa isu mendasar dan tantangan baru yang merupakan dampak dari krisis finansial global, lonjakan harga pangan yang bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia. Sektor pertanian harus menghadapi faktor eksogen yang terkadang datang tiba-tiba, seperti: instabilitas atau fluktuasi harga pangan yang luar biasa tinggi, fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak bersahabat.

Pada tingkat makro global, posisi negara-negara berkembang yang nota bene memiliki jumlah penduduk lebih besar dari negara-negara maju, masih belum dapat melepaskan diri dari permasalahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi,  ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi, saat ini terdapat kecenderungan beberapa negara untuk semakin mementingkan urusan pangan dan pertanian di dalam negerinya sendiri, bahkan dengan menerapkan strategi proteksi yang cenderung berlebihan.
Kriteria keberhasilan suatu strategi kebijakan pembangunan pertanian sebenarnya tidak terlalu rumit, yaitu apakah terdapat peningkatan kesejahteraan petani atau belum; serta apakah sektor pertanian telah ditempatkan sebagai landasan pembangunan ekonomi yang bervisi kesejahteraan dan keberlanjutan dari pembangunan ekonomi itu sendiri.
Bagi Indonesia, apa pun tantangannya, strategi pembangunan pertanian dapat dikatakan berhasil apabila mampu berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak semata berorientasi pada peningkatan produksi fisik sekian macam komoditas pertanian, peternakan, dan perikanan. Kriteria keberhasilan itu seharusnya dapat diukur dari perbaikan tingkat pendapat rumah tangga petani (dan pelaku di sektor lain), peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta perbaikan indikator makro seperti pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran.
Dalam kosa kata ekonomi, pembangunan pertanian dikatakan berhasil apabila telah mampu menjadi pengganda pendapatan (income multiplier) dan pengganda lapangan kerja (employment multiplier) bagi sektor perekonomian secara umum.  Strategi pembangunan pertanian dikatakan telah berada pada jalur yang benar apabila sektor ekonomi yang sangat vital itu telah mampu menjadi stimulus bagi sektor-sektor lain dalam ekonomi untuk secara bersama-sama tumbuh dan berkembang sesuai dengan proporsi dan fase pembangunan eknonomi.
2.  Prioritas Pembangunan Pertanian Pemerintah
Sampai pada kuartal pertama tahun 2010 ini, Pemerintah tekah menyelesaikan empat prioritas penting, yaitu (1) penyusunan peraturan pemerintah tentang usaha pertanian komersial, (2) pencanangan usaha pangan skala luas (food estate), (3) cetak biru peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pertanian berbasis pedesaan, dan (4) cetak biru swasembada pangan berkelanjutan.  Berikut ini penjelasan singkat tentang prospek pencapaian dari keempat prioritas pemerintah tersebut.
Dua prioritas pertama sebenarnya lebih bersifat administratif-birokratis sebagai acuan untuk melaksanakan strategi “pengadaan lahan” di atas, yang telah dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Pertanian Komersial yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Pertanian. Masyarakat hanya berharap bahwa pelaksanaan dari PP 18/2010 itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan agribisnis dan pertanian skala kecil, apalagi jika sampai menggusur.
Dalam kaitannya dengan investasi agribisnis bidang pangan skala luas (food estate) yang direncanakan di beberapa tempat seperti: di Merauke, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan mungkin di Kalimantan Tengah, saat ini yang diperlukan adalah kepastian acuan hukum dan kebijakan yang kondusif. Apabila hal ini diabaikan maka hasil yang akan dicapai tidak akan sesuai harapan, bahkan tidak akan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Misalnya, struktur pertanian di Indonesia akan menjadi lebih timpang, kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam tersingkirkan, dan Indonesia akan menuai bencana yang lebih dahsyat.
Dua prioritas terakhir memang lebih banyak bersifat strategis dan akademis, sehingga mensyaratkan kedalaman analisis dan akurasi data yang digunakan. Kesalahan atau kealpaan memperhitungkan dua faktor penting tersebut, juga akan dapat menghasilkan kinerja sektor pertanian yang tidak secerah yang diharapkan. Peningkatan nilai tambah akan jauh lebih bermakna jika disesuaikan dengan proses transformasi dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif. Nilai tambah akan bervisi perbaikan kesejahteraan pelaku dan perbaikan ekonomi bangsa jika strategi yang disusun juga sejalan dengan perbaikan kapasitas pelaku dan peningkatan skala usaha. Strategi baru ini pasti mensyaratkan perbaikan penguasaan teknologi dan informasi pasar.
Maksudnya, sektor pertanian ke depan sangat memerlukan suatu strategi kebijakan dan langkah konkrit berupa pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan pemasaran di hilir. Di sinilah esensi peningkatan nilai tambah (added value) komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan akan sejalan dengan upaya peningkatan keunggulan kompetitif yang dimaksudkan di atas. Logikanya, investasi di sektor hilir tersebut pasti akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Aktivitas ini akan menggairahkan ekonomi pedesaan, tanpa harus bekerja keras membendung arus urbanisasi yang terkadang didominasi tenaga tidak terampil dan berpendidikan rendah.
3. Strategi Swasembada Pangan Berkelanjutan
Strategi swasembada berkelanjutan bagi pangan strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging telah mulai menjadi agenda diskusi publik yang menarik. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan strategis mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan. Misalnya, angka resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa produksi beras pada 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Kecenderungan yang terus meningkat ini tentu sangat diharapkan untuk mendukung pencapaian swasembada berkelanjutan.
Karakter produksi beras yang sangat politis juga perlu menjadi perhatian berbagai pengampu kepentingan, karena sensitivitas komoditas pangan pokok ini terhadap beberapa keputusan politis, gejolak harga, manajemen stok, dan beberapa perubahan yang terlalu radikal. Opsi strategi  peningkatan produksi wajib diteruskan, tidak setengah-setengah atau hanya bertumpu pada strategi perluasan areal panen (pencetakan sawah-sawah baru), tapi perlu bervisi peningkatan produktivitas per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja atau dalam konteks peningkatan efisiensi teknis dan ekonomis sesuai dengan karakter setempat.
Produksi jagung tahun 2009 sekitar 17 juta ton, terutama karena peningkatan luas panen di beberapa sentra produksi jagung di Sulawesi dan Sumatera, terutama jagung hibrida yang juga menjadi input industri makanan ternak. Pada tahun 2010 produksi jagung juga masih diperkirakan meningkat, karena penggunaan benih unggul jagung hibrida semakin memasyarakat, dan bahkan cenderung telah menjadi kebutuhan petani.  Di luar musim panen Indonesia harus mengandalkan jagung impor, maka tugas berat pemerintah menjadi lebih berat dalam stabilitas harga jagung. Jika harga jagung domestik tidak stabil, maka lonjakan harga pakan ternak menjadi ancaman yang serius, karena subsektor peternakan unggas ini banyak melibatkan peternak skala kecil subsistem.
Opsi strategi peningkatan produksi jagung hibrida sebagai salah satu andalan baru pemenuhan konsumsi jagung yang terus meningkat perlu memperoleh dukungan dalam kebijakan pengelolaan air.  Berhubung jagung hibrida ini memerlukan relatif banyak air, maka manajemen infrastruktur irigasi dan drainase menjadi hampir mutlak, agar tidak terjadi kejutan-kejutan persaingan faktor produksi dengan padi, kedelai dan palawija lainnya. Dukungan penelitian dan pengembangan (R&D) yang bervisi pada pengembangan protokol zonasi, sertifikasi dan standarisasi jagung hibrida akan sangat membantu mengurangi inefisiensi pada usahatani jagung.
Produksi kedelai tahun 2009 telah mendekati 701 ribu ton biji kering, suatu peningkatan signifikan dibandingkan angka produksi tahun 2008 yang hanya tercatat 590 ribu ton.  Namun demikian, pada tahun 2010, prospek produksi kedelai tetap menghadapi tantangan berat karena faktor internal ekonomi dan kebijakan di dalam negeri sendiri.  Sepanjang produksi dalam negeri masih berada jauh di atas konsumsinya, maka ketergantungan pada kedelai impor akan menjadi bom waktu yang membahayakan. Strategi peningkatan produksi kedelai perlu dilakukan melalui pengembangan benih unggul tahan kering, varietas kedelai dengan galur murni asli Indonesia, seperti kedelai hitam Varietas Cikuray, Mallika, dan lain-lain yang mampu mendukung pengembangan industri pangan, seperti kecap, industri kuliner dan sebagainya.
Jika Pemerintah tetap meneruskan kebijakan liberalisasi perdagangan kedelai dan memberlakukan tarif bea masuk rendah 0 %, maka dampak negatif yang ditimbulkannya adalah ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor yang makin besar. Ketika produksi di dalam negeri telah mampu mendekati tingkat konsumsinya, maka kebijakan proteksi dapat diterapkan, termasuk mengenakan tarif impor tinggi dan/atau kebijakan kuota sebagai implementasi pencadangan usaha untuk kemajuan industri mikro kecil dan koperasi. Hal yang perlu dikedepankan adalah upaya menjunjung tinggi prinsip kemitraan swasta besar, usaha mikro, kecil dan koperasi dalam kerangka persaingan usaha yang sehat.
Produksi gula tahun 2009 mencapai 2,84 juta ton yang masih cukup jauh dari total kebutuhan konsumsi gula di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4,85 juta ton. Harga gula dunia yang melambung tinggi pada awal tahun 2010 ini seharusnya menjadi insentif tersendiri bagi pelaku ekonomi di sektor gula untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Keputusan impor gula seharusnya dilandasi taktis-strategis yang jitu agar tidak mengganggu sistem insentif di atas. Manajemen harga gula di dalam negeri sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh mitra dagang atau importir produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah dan status importir terdaftar (IT) dengan 75 persen bahan baku berasal dari tebu petani. Empat BUMN masuk klasifikasi IT adalah: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).
Manajemen harga gula juga tergantung pada tingkah laku beberapa importir strategis dan pelaku industri gula rafinasi yang mulai menunjukkan perannya pada kinerja fluktuasi harga gula di dalam negeri. Langkah pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan operasionalisasi revitalisasi pabrik gula dapat dilaksanakan misalnya, dengan pembentukan satu-dua perusahaan induk (holding company) pabrik gula yang terintegrasi dari kebun tebu di hulu sampai gula putih di hilir, dan yang memproduksi tebu di hulu sampai gula mentah di hilir.  Langkah audit keuangan dan audit investigasi lainnya harus dilakukan secara menyeluruh dan akuntabel untuk melihat apakah spesifikasi dan diversifikasi usaha seperti ini akan lebih baik atau tidak. Dampak multiplier suatu investasi bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan lainnya tidak akan terjadi apabila aransemen kelembagaan atau kualitas institusi negara masih primitif.
Produksi daging pada tahun 2009 masih berkisar 2.3 juta ton, dengan dominasi daging ayam ras pedaging yang demikian besar. Produksi daging sapi hanya 352 ribu ton, sehingga Indonesia tetap mengimpor sekitar 520 ekor sapi setiap tahun. Produksi daging sapi, daging ayam dan produk sektor peternakan atau yang menjadi sumber protein hewani di Indonesia sebenarnya tidaklah terlau besar untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih akan meningkat setiap tahun. Akibatnya, Indonesia masih harus menggantunkan pada daging impor, terutama dari Australia, Selandia Baru dan negara lain yang bebas penyakit hewan, seperti penyakit mulut dan kuku, antraks, dan sapi gila.   Di Indonesia, Revolusi Peternakan ditandai oleh berkembang pesatnya industri ayam petelur, ayam pedaging, dan ayam kampung sendiri.
Tidak kalah pentingnya, industri pakan ternak yang umumnya terkait dengan investasi asing dan beroperasi dengan skala besar juga tumbuh pesat, yang ditandai dengan maju dan membaiknya tingkat efisiensi, bahkan di seluruh sistem agribisnis berbasis peternakan. Strategi peningkatan produksi daging dalam negeri dan perbaikan konsumsi daging sebagai salah satu sumber protein perlu berjalan bersama-sama. Untuk daging sapi, strategi pengembangan agribisnis peternakan sapi potong Indonesia perlu terus menerapkan asas kelestarian (keseimbangan antara pemotongan dan jumlah populasi sapi potong atau menghindari “pengurasan” populasi), asas kesinambungan (iklim usaha tetap kodusif dan tidak saling merusak), serta asas kemandirian (berkurangnya ketergantungan pada daging impor).
4.  Penutup: Langkah ke Depan
Sebagai penutup, pembangunan pertanian juga wajib meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan dan perikanan yang juga mampu menghasilkan devisa dari prioritas ekspor selama ini.  Misalnya, kelapa sawit Indonesia masih akan terus merajai pasar dunia, yang kini memperoleh tantangan baru dalam visi keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. Karet, kopi, kakao, dan lada Indonesia juga kan terus mampu menguasai pasar dunia. Komoditas perikanan tangkap dan budidaya seperti ikan tuna, cakalang, dan udang masih akan menjadi andalan ekspor dan perolehan devisa yang dapat menggerakkan perekonomian.
Strategi utama yang wajib dijalankan pada komoditas bernilai ekonomi tinggi tersebut adalah bagaimana caranya agar petani dan nelayan (skala kecil) juga mampu menerima manfaat ekonomis yang besar agar lebih bergairah dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensinya. Di sinilah strategi pemihakan dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani menjadi sangat mutlak dan tidak dapat ditawar lagi.
Ke depan, strategi peningkatan produktivitas dan efisiensi itu wajib dikemangkan melalui aplikasi teknologi baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang penelitian dan pengembangan (R and D), serta penelitian untuk pengembangan (R for D). Dunia usaha dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Imdonesia akan meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha atau sektor swasta dapat pula untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.


No comments:

Post a Comment