Monday, June 18, 2012

Nasibmu TOR-TOR

tari-tor-tor
Budaya kita di klaim negara lain? Sudah biasa, karena negara kita selalu mengajarkan dan membiarkan proses plagiat, proses duplikat, bajakan berkembang luas. Kita terpancing emosi lalu menunduk malu karena kenyataannya kitalah sendiri yang tidak menghargai budaya bangsa sendiri.
Dulu ada batik yang diklaim, ada juga reok Ponorogo ikut diklaim, masakan rendang Padang dan kini tarian “TOR-TOR dan Gondang Batak” giliran yang kena klaim. Ada apa dengan bangsa kita ini? Hingga satu demi satu identitas budaya serta identitas bangsa diakui oleh bangsa lain dan yang lebih menyakitkan diklaimnya oleh bangsa tetangga yang dulu notabene belajar bertaninya dari kita.

Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Batak terbagi dari 5 suku (Karo, Toba, Simalungun, Mandailing dan Tapanuli) adalah kaya akan adat istiadat daerah. Dari 5 suku tersebut, ada puluhan marga (nama belakang, ciri kesukuan) yang beranak pinak lagi hingga antara batak yang satu dengan yang lain bisa saling berkaitan. Banyak nilai sejarah yang dilahirkan dari tanah Batak, banyak pahlawan yang dilahirkan oleh tanah Batak serta banyak juga petinggi-petinggi bangsa ini yang berasal dari tanah Batak.
Sebagai orang yang dilahirkan di tanah Simalungun dan dibesarkan di tanah Karo, rasanya saya cukup kecewa melihat perkembangan adat daerah di Sumatera Utara. Memiliki ibu yang perpaduan antara batak simalungun dan batak toba dan ayah yang merupakan perpaduan antara jawa(Madiun) dan batak Karo, wajar jika saya juga merasa prihatin dengan perkembangan budaya daerah sendiri.
Mari kita lihat kenyataan yang terjadi ditanah Batak sana. Dahulu, disetiap suku batak ada yang namanya “pesta tahunan” dan itu adalah ajang pesta budaya daerah sebagai bentuk rasa syukur atas berlimpahnya hasil bumi. Kegiatan tersebut diisi oleh tari-tarian asli, musik-musik tradisional Batak hingga tutur sapapun masih mengikuti aturan adat. Kini acara tersebut memang masih ada, namun nilai budayanya sudah sangat jauh berkurang. Musik yang mengiringi sekarang hanya sebuah organ tunggal dengan menghadirkan para penari yang dipesan. Belum lagi acara dijadikan ajang berlomba-lomba untuk memikat jodoh serta pamer kekayaan dengan dihambur-hamburkannya uang saweran. Dan itu jugalah yang tergambar dari pada setiap pesta adat pernikahan-pernikahan di masyarakat Batak masa kini.
Musik yang akrab kita dengar disetiap acara batak adalah house musik batak, organ tunggal serta lagu batak yang diremixkan. Begitu juga yang berkembang pada kumpulan-kumpulan masyarakat batak yang merantau di daerah lainnya, hingga nilai budaya itu sedikit demi sedikit tergerus oleh modernisasi yang tak jelas. Belum lagi, di radio lokal, di televisi lokal dan di media lokal Sumatera Utara, acara yang ditonjolkan serta diliput bukan lagi acara lokal yang menggangkat seni budaya lokal, namun cerita dan budaya luar yang disuguhkan.
tari-tor-tor-asli-batak-diklaim-malaysia
Begitu juga dengan danau Toba, dahulu ada yang namanya “festival danau Toba” yang begitu bergema serta menjadi daya tarik wisatawan, kini ditiadakan. Padahal acara tersebut adalah salah satu ajang untuk melestarikan budaya batak. Dimana lagi lahan untuk melihat tarian TOR-TOR? Kapan lagi GONDANG di tampilkan? Jika media untuk menjaga kelestariannya sedikit demi sedikit dihapus. Mana semboyan “Marsipature Hutanabe” (mari perbaiki kampung kita/batak Tapanuli), “mari persikap kuta kemulihenta (mari perbaiki kampung tempat kita kembali/batak Karo) tersebut?
Saya berharap, pengklaiman Malaysia terhadap tarian TOR-TOR dan GONDANG Batak, akan menjadi cambuk kesadaran yang kesekian kalinya untuk kita agar tersadar dalam menjaga identitas budaya bangsa. Dan rasanya tak cukup hanya dengan kita sadar saja, harus diikuti juga oleh penyelamatan terhadap kekayaan budaya bangsa ini jika ingin masih memegang teguh “Bhinneka Tunggal Ika”.
@R_Gints
Anak Batak

No comments:

Post a Comment